“Kalau adek dipukul, jangan diam aja. Pukul balik!”
Ungkapan itu mungkin terdengar lazim di telinga kita. Doktrin tadi bahkan masih berlaku bagi sebagian keluarga masa kini. Idealnya, kita tidak patut meminta anak untuk memukul balik, lho. Lantas, apa yang salah dengan meminta anak untuk memukul balik?
Anak mendapatkan pemahaman yang keliru
Upaya membalas agresi dengan kekerasan juga biasanya dimaksudkan untuk mempertahankan diri. Namun, Psikolog Anindya Dewi Paramita mengkhawatirkan dampak jangka panjang yang akan muncul di kemudian hari.
“Kalau misalnya Bapak mengajarkan anak untuk fight back dengan cara yang sama, namun kurang mendapat acknowledgement (pengakuan), ia menjadi salah pengertian. Lama-lama ia yang merasa kuat nanti. Ketika enggak ada lagi yang lebih kuat, dia yang akan mem-bully orang lain. Kami menyarankan untuk tidak fight back dengan cara yang kasar,” jelas Anindya saat berdiskusi dengan peserta Parenting Class yang digelar Leader Lab pada pertengahan Januari 2018.
Menurut Anindya, anak harus bisa mengutarakan emosinya secara pantas dan antikekerasan meskipun dihadapkan dengan agresi dari orang lain.
Dorong perlawanan cerdas
Walau begitu, anak tentu boleh melawan balik asalkan dengan cara yang lebih cerdas. Perlawanan haruslah tidak menimbulkan masalah baru.
“Kalau ada perampok, terus kita tembak, kita tetap salah. Soalnya, kita menembak meskipun pada akhirnya mungkin hukuman yang diterima tidak seberat yang seharusnya. Ini yang saya enggak mau terjadi pada anak-anak,” terang Anindya.
Untuk melawan balik, orang tua dapat mengajarkan anak:
- meminta pelaku bully untuk berhenti mengganggunya,
- pergi meninggalkan pelaku dan bermain dengan teman lainnya, atau
- berteriak guna menarik perhatian orang-orang sekitar saat menerima perlakuan kasar.
Selain itu, minta anak segera melaporkan perundungan pada orang dewasa seperti guru dan orang tua.
Ajak anak bermain peran
Setelah Ayah atau Ibu membekali reaksi yang tepat kepada si kecil, mintalah ia bermain peran seolah-olah menghadapi situasi bullying. Latihlah ia untuk berdiri tegap sambil berbicara keras seperti, “Aku enggak suka!” atau “Jangan dotrong-dorong!”
Beritahu juga kepada buah hati bahwa dalam situasi seperti itu, ia harus menampakkan wajah datar, bukan menangis atau marah. Ibu dapat mencontohkan langsung caranya kepada buah hati. Pelaku bullying biasanya tidak mau berurusan dengan anak-anak yang percaya diri.
Orang tua juga perlu ‘melawan’ dengan cerdas
Perlawanan cerdas tak hanya berlaku pada anak, tetapi juga orang tua. Menurut Psikolog Perkembangan Marilyn Segal seperti dilansir BabyCenter, ada dua aturan yang berlaku dalam situasi yang menyangkut anak orang lain.
Pertama, jangan pernah memberitahu orang tua lain cara yang perlu ia terapkan dalam membesarkan anaknya. Kedua, jangan pernah mendisiplinkan anak orang lain. Setiap orang tua memiliki cara sendiri dalam menangani perilaku anak masing-masing. Meski berharap sepenuh hati agar orang tua lain dapat bersikap lebih tegas terhadap anak mereka, itu bukanlah tugas Ayah dan Ibu.
Orang tua cukup melaporkan dan mendiskusikan perundungan yang dialami anak pada layanan konseling sekolah atau manajemen daycare. Serahkan sanksi atau teguran pada pihak tersebut karena hal itu sudah di luar kontrol orang tua korban.
Referensi: artikel “Preschool Bullies” pada What To Expect
(Febi/Dok. Pixabay)