Sebagai orang tua, kita pasti sering menghadapi tantangan-tantangan pengasuhan. Mulai dari anak yang tidak mau menurut sampai buah hati menghadapi kecelakaan kecil saat Ayah dan Ibu sedang bertugas menjaganya. Saat situasi seperti itu terjadi, rasanya mudah saja menyalahkan pasangan yang kita anggap abai. Aksi lempar tanggung jawab juga mungkin saja terjadi.
Suami: “Tuh, lihat, anakmu susah diatur! Gimana sih, kamu mendidiknya selama ini?”
Istri: “Enak aja! Ngurus anak juga tanggung jawab kamu!”
Suami: “Tanggung jawab kamulah! Tugas aku kan, mencari nafkah.”
Perdebatan semacam itu pun akan terus berlanjut dan bisa berdampak pada keharmonisan rumah tangga.
Alasan kita tak perlu menyalahkan pasangan
Faktanya, upaya menahan diri untuk tidak menyalahkan pasangan dapat membawa dampak positif bagi hubungan suami istri juga anak dengan orang tua. Hal itu pun diamini penulis buku Everybody Marries the Wrong Person, Christine Meinecke, Ph.D lewat Psychology Today. Menurut Meinecke, upaya mengendalikan diri untuk tidak menyalahkan pasangan membawa banyak keuntungan jangka pendek maupun panjang, Parents.
Terlebih, tindakan menyalahkan:
- akan memicu ingatan masa kecil pasangan tentang kegelisahan, kemarahan, dan rasa malu,
- merefleksikan ekspektasi diri kita yang tidak realistis,
- merupakan bentuk ketidakdewasaan emosi kita, dan
- akan membuat anak merasa tindakan atau pengalaman buruknya disebabkan ketidakbecusan salah satu dari orang tua bila aksi menyalahkan terjadi di depan Si Kecil.
Hal-hal di atas pun menjadi alasan kita tak perlu menyalahkan pasangan. Terlebih, dengan menghindari kecenderungan tersebut, kita menuai manfaat jangka pendek dan jangka panjang, lho.
Manfaat jangka pendek: menghindari ledakan emosi dan penyesalan dalam diri pasangan
Meinecke mengumpamakan anggapan umum bahwa orang-orang yang paling butuh mengubah perilaku pasti tidak mau mendengar nasihat tentangnya. Pendapat itu pun saya rasakan sendiri. Ketika berbuat kesalahan terkait anak, rasanya risih sekali dinasihati orang lain. Padahal, berbekal pengalaman yang menghasilkan kekeliruan dan rasa bersalah saja, saya pasti introspeksi diri, kok.
Manusia memang cenderung bereaksi dengan emosi negatif ketika merasa terancam. Otak anak saja menginterpretasikan orang tua yang marah dan suka menghukum sebagai ancaman bagi keselamatannya. Begitu pula dengan orang dewasa yang rentan mengaitkan amarah pasangan dengan pengalaman yang mengancam anak tadi.
Solusi: kita dan pasangan perlu menjaga interaksi selevel orang dewasa. Ketimbang berbicara layaknya orang tua yang marah pada anak, arahkan otak untuk berkomunikasi dengan pasangan seperti halnya kita lakukan pada teman sebaya. Dengan begitu, kita dapat mencegah emosi negatif dan menghasilkan respon yang rasional.
Kita boleh saja menyampaikan keberatan, namun lakukanlah secara diplomatis dan tidak bernuansa menyalahkan. Misal, mulailah dengan kata “aku” ketimbang “kamu.”
Do: “Aku khawatir deh, kalau anak mainnya diawasi dari jauh aja.”
Don’t: “Kamu jagain anaknya gimana sih, lihatin dari dekat, dong.”
Manfaat jangka panjang: kita belajar membangun tanggung jawab diri
Meinecke berpendapat, kepuasan, dan reaksi emosional yang diharapkan dalam hubungan bukanlah tanggung jawab pasangan. Kita sendirilah yang bertanggung jawab atas hal-hal yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan.
Meski perilaku pasangan tampak layak untuk disalahkan, tindakan menyalahkan justru merefleksikan harapan kita yang tidak realistis. Ketika merasa tidak senang dengan pasangan, cek lagi deh, ekspektasi kita. Saran ini tetap berlaku bahkan jika ekspektasi kita dirasa masuk akal dan hal itu disetujui oleh teman maupun keluarga.
Selain itu, tahukah kamu bahwa kematangan emosional tidak secara otomatis diperoleh seiring bertambahnya usia? Berdasarkan berbagai temuan abad ke-21, hingga berusia 25-26 tahun, otak kita tidak sepenuhnya terhubung untuk fungsi kematangan emosi seperti penghambatan emosi negatif, penilaian, dan pemikiran rasional.
Sementara, kita mungkin mau tak mau mengambil tanggung jawab dalam kehidupan orang dewasa seperti memilih pasangan dan membesarkan anak tanpa bekal kematangan emosional. Sebagaimana hal kemampuan hidup lainnya, kematangan emosional membutuhkan kemantapan hati dan latihan, lho.
Solusi: berlatihlah untuk merevisi harapan yang tidak terpenuhi dan mengambil alih komando reaksi-reaksi emosional bernuansa negatif.
Referensi lain: Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur: 37 kebiasaan Orang Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada Anak oleh Edy Wiyono
(Febi/Dok. Shutterstock)