Pernahkah kita menyaksikan anak yang mengidap penyakit atau gangguan lainnya lalu berkomentar lirih, “Kasihan anaknya. Gimana sih, orang tuanya?” Saat itu mungkin keadaan anak kita dalam kondisi sehat walafiat sehingga komentar seperti itu refleks keluar begitu saja. Tapi, pernahkah kita membayangkan berada di posisi orang tuanya? Gendis Utoyo dan Psikolog Retno Dewanti berbagi cerita mengenai hal yang dialami orang tua dengan anak spesial.
Rasa lelah yang tidak disadari
Gendis menangis semalaman usai melahirkan buah hatinya, Bung Suseno, secara normal. Pasalnya, Bung tak bisa berada di dekatnya setiap saat lantaran harus dirawat di NICU (Neonatal Intensive Care Unit) selama sebulan. Bung mengidap beberapa penyakit langka. Mulai dari Atresia Ani (tidak memiliki lubang anus), Hernia, Hipospadia (lubang penis tidak pada tempatnya), sampai Atrial Septal Defect (ASD) yang menimbulkan celah sebesar 13,6 mm di jantung Bung.
Selama sebulan, Gendis menutup diri dari lingkungan sosialnya dan memikirkan cara agar Si Kecil mendapatkan nutrisi secara maksimal. Sampai akhirnya tiba waktunya Bung pulang setelah menjalani operasi. Namun, Gendis justru merasa sangat kelelahan setibanya di rumah. Ini karena selama sebulan penuh, ia tidak keluar dari rumah sakit. Sehari-hari ia berkutat di sekitaran ruang tunggu rumah sakit dan NICU saja.
Tekanan justru berasal dari keluarga
Di tengah rasa stres dan lelah berjuang untuk kesembuhan anaknya, Gendis harus menghadapi berbagai tekanan dari orang-orang terdekatnya.
“Aku menghadapi keluarga besar bagaikan tantangan. Mereka berusaha menunjukkan empati, tapi dengan berkata, ‘Aduh kasihan, ya…’ Hal itu justru membuat saya down,” kenang Gendis saat menjadi narasumber diskusi perencanaan keuangan keluarga pada akhir Mei 2018.
Tak hanya Gendis, pengalaman serupa juga dialami oleh Psikolog Retno Dewanti. Anak Retno mengidap Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas (ADHD). Ia juga menerima tekanan dari keluarganya. Apalagi, saat itu (tahun 90-an) ADHD dan autisme masih hal yang baru. Belum lagi, terapinya yang mahal.
Orang tua dan keluarga terkena dampaknya
Menurut Retno, ketika anak sakit, orang tua rentan:
- mengalami kesedihan, kecemasan, dan ketidaktenangan,
- menghadapi perubahan sikap diri sendiri dan anggota keluarga lain,
- lebih sensitif, juga
- lebih mudah tersinggung.
Selain itu, seluruh anggota keluarga merasakan efeknya dan ini adalah hal yang sangat wajar. Kondisi tersebut pun dapat berdampak pada berubahnya peran dan hubungan antaranggota keluarga.
Periode yang dialami orang tua dengan anak spesial
Saat menghadapi diagnosis gangguan atau penyakit tak lazim pada anak, orang tua biasanya melalui periode-periode di bawah ini:
- kaget dan mempertanyakan keadaan (why me),
- penyangkalan (denial), dan
- heroik.
Orang tua menghadapi masa-masa marah saat periode dan “why me.” Ia akan mempertanyakan kondisi yang dialami anak adalah hukuman untuknya.
Sementara, pada periode penyangkalan, orang tua secara tidak sadar telah membuang cukup banyak waktu.
“Khususnya untuk gangguan yang tidak lazim, kita kayak pegang senapan dan membabibuta mengelak ke segala arah. Penanganannya juga begitu. Apa aja dicobain (agar anak sembuh). Bukan karena putus asa, melainkan harapan kita sedang tinggi-tingginya dan belum realistis,” jelas Retno.
Tahapan lainnya yang mungkin dilalui orang tua ketika anak sakit adalah periode heroik. Saat itulah orang tua merasa hanya ia yang bisa menolong buah hati dan sulit percaya pada orang lain untuk ikut memberikan bantuan.
Menurut Retno, orang tua perlu untuk mengenali kemampuannya sendiri dan tahu saat yang tepat untuk mencari bantuan. Kalau tidak, orang tua dapat mengalami trauma sekunder yang dapat berujung pada burn out atau ketika energi sudah terkuras.habis-habisan. Alih-alih bangkit, kondisi burn out malah akan membuat orang tua tidak memiliki harapan lagi dan produktivitasnya menurun.
Untuk mengetahui cara bangkit dari trauma sekunder, baca juga artikel Waspadai Trauma Sekunder Ketika Anak Sakit.
(Febi/Dok. Shutterstock)