“Aku kalau di rumah jagain anak sambil beresin rumah juga. Semua aku lakuin sendiri deh.”
“Wihh, keren banget, bisa meeting sambil nyuapin anak.”
Emang rasanya ada sedikit kebanggaan ya, Parents, ketika kita dianggap sebagai orang yang multitasking. Rasanya tuh diri kita adalah sosok yang hebat, bisa mengerjakan banyak hal sendirian. Namun, tenggelam dalam pujian sebagai multitasker, apakah itu benar-benar hebat?
Bumin sempat lihat unggahan dr. Mesty Ariotedjo Sp.A, yang punya segudang aktivitas. Ada jadwal praktik dokter, mengurus keluarga, menjalankan program studi, dan mendirikan public health. Dokter Mesty juga senang kalau diakui sebagai perempuan yang multitasking. Namun di balik itu ada fakta yang perlu kita ketahui.
Saat multitasking, sebenarnya kita tuh pusing banget ya, karena melakukan beberapa hal bersamaan. Tapi karena kita yakin bisa atau mungkin terpaksa, jadi ya udah deh dilakuin aja. Nah, menurut time management expert, Dave Crenshaw, multitasking adalah mitos.
Ada dua alasan kenapa multitasking itu mitos. Pertama, struktur kognitif otak hanya menjalankan satu aktivitas pada suatu waktu. Kedua, otak jadi mampu beralih dengan sangat cepat di antara berbagai tugas.
Lagi konsen dengerin meeting, tapi harus fokus juga nyuapin anak. Atau lagi edit kerjaan, sambil bales Whatsaapp, terus anak manggil minta ambilin minum. Apa lagi multitasking yang Parents pernah lakuin?
Selain dua alasan tadi, multitasking punya dampak negatif yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Istilahnya, decision fatigue. Capek ngambil keputusan terus. Kerjain apa dulu ya? Mana yang bisa dikerjain barengan ya? Habis itu, kerjain apa lagi yaa?? Lama-lama pusing deh.
Bumin pernah juga sempat beranggapan, kalau perempuan itu yaa multitasking. Semua dikerjain sendiri, tapi biasanya berujung jadi pusing dan nggak bisa maksimal. Akhirnya Bumin stres, mengira diri nggak bisa cepet nyelesain berbagai tugas, padahal memang multitasking itu mitos.
Kerugian lainnya, Parents yang sering banget multitasking, biasanya cenderung mengalami gangguan dalam hidupnya. Ini akibat dari berkurangnya fungsi kognitif seperti memori dan pengambilan keputusan.
Menurut penelitian Sahakian & LaBuzetta (2013), menyebutkan bahwa orang dewasa membuat sekitar 35.000 keputusan setiap harinya. Wow, banyak banget ya, nggak berasa.
Hmm.. buat yang sering multitasking, pasti kerasa ya hal-hal seperti itu 😀
Capek lho, melakukan dua pekerjaan dalam satu waktu. Ngerjain satu aja lelah kan. Bumin kerasa sih, pas udah capek, kayak terpancing buat cepet-cepet ambil keputusan, kadang tanpa pikir panjang.
Semakin lama, semakin sering, semakin banyak pekerjaan yang diselesaikan berbarengan, sehingga pikiran kita terasa lelahhh banget banget. Akibatnya, itu kayak yang Bumin juga rasain, kita bisa ambil keputusan yang nggak tepat.
Nggak mau kan, ketika kita merasa hebat bisa multitasking, ternyata kita malah sering ambil keputusan yang kurang baik. Apalagi kalau keputusan itu untuk si Kecil.
So, Parents, yuk, saling membantu dan bekerja sama. Misalnya, pasangan dirasa kurang membantu, coba ungkapkan dan minta bantuannya. Jangan sungkan juga kalau perlu bantuan keluarga. Bila kita lelah, istirahat aja. Itu bukan karena Parents lemah, tapi memang perlu mengisi energi agar lebih baik.
Jangan pernah lupa untuk memikirkan kesehatan emosi dan fisik. Parents yang bahagia, bisa bikin si Kecil sejahtera.