Awal Desember lalu, saya melihat video Penyanyi Cynthia Lamusu menerapkan time-out untuk Tatjana (2 tahun), anak perempuannya. Dalam video yang diunggah di akun Instagram @tatjanadanbima, Cynthia menuliskan, “(Tatjana) lagi dihukum, diam di pojokan gara-gara buang-buang barang. Mama harus kuat mental juga. Enggak boleh gampang luluh untuk melatih disiplin mereka.”
Sebenarnya, time-out tak semata-mata untuk anak, lho. Saya sendiri ada kalanya kesulitan mengelola emosi ketika anak-anak balita saya berulah. Alih-alih meledak, saya memilih untuk menenangkan diri sejenak di ruangan lain. Di sana, saya mengatur napas dan berusaha menjernihkan pikiran. Ternyata, cara tersebut juga tergolong time-out. Tapi, kita perlu memahami dulu tujuan dan penerapan time-out yang sebenarnya. Istilah positive time-out pun muncul untuk menyempurnakan metode time-out sebelumnya.
Kontroversi time-out
Salah satu cara mendisiplinkan anak yang populer di Barat adalah time-out. Metode ini diperkenalkan oleh Montrose Madison Wolf, psikolog berkebangsaan Amerika, untuk mendisiplinkan anak tanpa kekerasan. Cara tersebut melibatkan beberapa prinsip, antara lain
- anak menerima perhatian orang dewasa berdasarkan tingkah laku yang diharapkan;
- orang dewasa menahan perhatiannya untuk perilaku anak yang tidak pantas;
- anak menjalani isolasi sosial (time out) untuk perilaku yang tidak dapat diterima.
Dalam penerapannya, anak yang berulah akan dibawa ke ruangan lain atau tempat spesifik untuk jangka waktu tertentu. Biasanya, durasi time-out berlangsung 2-5 menit untuk anak usia batita dan balita. Saat time-out berlangsung, anak dilarang beranjak dari tempat tersebut dan tidak ada yang boleh memberikan perhatian padanya. Orang tua pun disarankan untuk tidak memandang, berbicara, maupun menyentuh anak saat time-out.
Namun, metode time-out sebenarnya menuai kontroversi. Psikolog Klinis Mary C. Lamia melalui Psychology Today mengungkapkan, time-out dikhawatirkan dapat membuat anak menanggung rasa malu yang kemudian berdampak pada kesulitannya mengatur emosi. Lalu, apa yang harus dilakukan ketika polah anak memancing amarah orang tua? Kita bisa menerapkan positive time-out yang bermanfaat bagi anak dan orang tua, kok.
Cara menerapkan positive time-out
Orang tua membawa anak ke tempat nyaman untuk saling menenangkan diri sebelum keduanya belajar dari perilaku atau konflik yang terjadi. Yap, tempat time-out haruslah tidak membosankan. Bahkan, jika anak sudah lebih besar, sebelumnya ia dapat diajak untuk merancang tempat time-out. Misal, ia diperbolehkan untuk menempatkan boneka dan buku-buku di sana lalu memberikan julukan untuk tempat tersebut. Gagasan ini merupakan modifikasi Jane Nelsen, penulis Positive Time Out.
Orang tua dapat pergi ke tempat positive time-out bersama anak. Namun, upaya menenangkan diri dapat dilakukan terpisah bila salah satu dari mereka tidak menghendaki. Menurut psikolog dan penulis buku Practical Wisdom for Parents, Nancy Schulman, orang tua dapat menjalankan time-out untuk dirinya ketika tidak bisa menahan emosi sewaktu berhadapan dengan anak-anak.
“Ambil jarak sejenak dari anak. Ambil napas dalam-dalam dan hitung sampai sepuluh. Dengan begitu, orang tua akan lebih tenang dan bisa lebih efektif menerapkan disiplin ke anak,” kata Schulman.
Menurutnya, suasana yang berbeda dapat lebih menenangkan emosi orang tua. Jika orang tua memilih memisahkan diri, sebelumnya pastikan dulu anak dalam keadaan aman. Lebih baik lagi kalau ada suami atau kerabat lain di rumah yang bisa dititipkan anak untuk sejenak.
Positive time-out bermanfaat bagi anak dan orang tua
Nelsen mengungkapkan lewat situsnya, anak yang sulit diatur adalah anak yang putus asa. Cara paling efektif untuk menangani perilaku buruk adalah membantu anak mendapatkan dorongan untuk memperbaiki diri sehingga kita dapat menghilangkan motifnya berperilaku demikian.
Positive time-out dapat membantu anak maupun orang tua menenangkan diri sampai mereka bisa berpikir jernih dan bertindak lebih hati-hati. Pasalnya, ketika manusia merasa kecewa atau stres, otak reptil (batang otak) akan mengambil kendali sehingga menyuguhkan pilihan fight or flight. Respon fight berarti individu menanggapi stres dengan melakukan tindakan agresif baik melalui kata-kata ataupun tindakan. Sedangkan, ketika individu memberikan respon flight, ia cenderung untuk menyendiri atau melarikan diri dari masalah tersebut saat menghadapi stres. Nah, positive time-out memungkinkan anak dan orang dewasa menenangkan diri hingga otak rasional (cortex) mereka dapat berfungsi kembali.
Setelah positive time-out selesai dan orang tua maupun anak sudah tenang, bangunlah diskusi mengenai perilaku atau konflik yang baru saja terjadi. Dengan begitu, anak maupun orang tua dapat memecahkan masalah dan membuat perbaikan terhadap kerusakan yang diperbuat.
Positive time-out pun mendorong anak dan orang tua untuk membentuk keyakinan positif tentang diri, dunia, dan perilaku mereka. Keduanya akan menjadi lebih berdaya dan memiliki dorongan hati untuk memperbaiki diri.
Referensi lain:
- Artikel “Steps for Using Time-Out” pada CDC
- “Cara Pria Menghadapi Stres” pada Dokter Sehat
(Febi/Dok. Shutterstock)