Semakin bertambah usia sang buah hati, rasanya kian sulit saja membuatnya mendengarkan kita. Terkadang orang tua khilaf meninggikan suara demi membuat Si Kecil mengikuti arahan. Alhasil, anak malah justru meniru kebiasaan kita berteriak ketika menginginkan sesuatu atau malah menjadi ‘jauh’ lantaran sering dibentak. Padahal, ternyata cara berbicara dengan balita bisa diterapkan tanpa menguras energi dan emosi, lho.
Baru-baru ini saya membaca buku Psikolog Okina Fitriani yang berjudul The Secret of Enlightening Parenting. Dalam bukunya, Okina memaparkan pola bahasa persuasif yang dapat memudahkan orang tua berkomunikasi dengan balita.
Gunakan pilihan untuk mencapai tujuan
Kira-kira hal-hal apa saja yang sering menjadi drama di antara kamu dan Si Kecil? Kalau saya sih, permintaan untuk segera mandi, perdebatan soal baju yang akan dikenakan anak, juga aksi saling rebut antara kakak dan adik. Menurut Okina, ketimbang memerintah, orang tua bisa menentukan tujuan komunikasi dan memberikan pilihan agar anak merasa ikut dalam proses pengambilan keputusan. Trik ini tak hanya membuat anak merasa memiliki keputusan sendiri, tapi juga mengajarkan berpikir yang menghasilkan solusi.
Tujuan: Segera mandi
Cara komunikasi: “Kakak mau mandi sekarang atau lima menit lagi?”
Jika anak memilih opsi kedua, atur alarm agar berbunyi lima menit kemudian.
Tujuan: Makan sayur
Cara komunikasi: “Adik mau makan sayur satu sendok atau satu mangkok?”
Jika Si Kecil tidak terlalu suka sayur, kemauannya untuk melahap satu sendok makan saja sudah sebuah kemajuan, bukan? Nantinya Ibu bisa menaikkan takarannya secara perlahan.
Visualisasikan hasil yang diinginkan
Menurut Okina, visualisasi hasil yang diinginkan mempersiapkan sistem saraf dalam otak membuat jembatan menuju perilaku tersebut. Dengan begitu, hasil yang diharapkan lebih mudah dicapai.
Misal, ketika si Kakak enggan meminjamkan mainan ke adiknya, orang tua bisa berkata, “Ayah/Ibu pasti senang deh, kalau Kakak mau berbagi mainan sama adik.”
Contoh lain, anak frustrasi menyelesaikan puzzle-nya. Kita bisa berkata, “Yuk, coba lagi susun puzzle-nya. Kalau kepingannya sudah terpasang semua, pasti puas sekali rasanya!”
Berikan alternatif positif
Sering kali orang tua melarang tanpa memberikan alternatif solusi. Padahal, larangan tanpa alternatif dapat membingungkan anak. Contohnya saat kita hanya mengatakan, “Jangan menghadap ke depan.” Anak akan kebingungan mengarahkan tubuhnya. Seharusnya ia menghadap ke belakang, kanan, atau kiri?
Selain itu, larangan sebaiknya diberikan saat kejadian berlangsung, bukan ketika anak duduk manis. Larangan yang dilontarkan sebelum kejadian justru membuat anak membayangkan untuk melakukannya. Jika ia menemukan sensasi menyenangkan ketika membayangkan hal yang dilarang, motivasi untuk melakukannya justru muncul. Contoh sederhana, kita menerima perintah, “Jangan membayangkan mobil warna merah.” Hal yang terjadi justru sebaliknya, mobil berwarna merah sekilas terlintas di benak kita, bukan?
Jadi, ketika kita ingin anak menghindari atau berhenti melakukan sesuatu, cobalah untuk menyampaikannya dengan alternatif positif yang menyertainya.
Contoh:
“Yuk, sudahi nonton TV-nya. Kita main gelembung sabun di luar sama-sama, ya!”
“Berhenti berteriak, Nak. Ayah lebih suka mendengar kamu berbicara dengan nada yang menyenangkan. Kita coba, yuk!”
“Kalau suaranya pelan seperti ini, Ibu lebih suka mendengarnya.” (sembari mencontohkan)
Menyisipkan “setelah” dan “sementara”
Cara ini tak hanya membuat sebuah perintah lebih lembut dan santun, tapi juga menggiring pikiran bawah sadar anak untuk setuju melakukannya. Cara berbicara dengan balita seperti ini akan lebih menarik jika Ayah atau Ibu mengetahui hal yang anak sukai. Selain itu, pola bahasa ini mencegah anak berorientasi pada hadiah.
Contoh:
“Setelah Abang ganti baju dan menaruhnya di keranjang pakaian kotor, kita istirahat di kebun sambil menikmati es krim, ya.”
“Sementara merapikan mainan, Kakak mau dibuatkan apa? Roti isi cokelat atau susu dingin?”
Bertanya, bukan memerintah
Menurut Okina, trik mengganti perintah dengan pertanyaan membuat anak merasa itu adalah idenya sendiri. Hal itu pun dapat mencegah anak menganggap ayah dan ibunya tukang perintah-perintah.
Contoh:
“Siapa belum gosok gigi?”
“Hmm, setelah makan, piring ditaruh di mana, ya?”
“Bisakah membantu Ayah/Ibu menutup pintu?”
Yes set
Buatlah pola bahasa yang menggiring anak pada jawaban “ya” secara berurutan. Pastikan kamu menggiringnya ke pertanyaan yang jawabannya “ya” karena memang kenyataannya seperti itu. Misalnya, Ayah atau Ibu meminta Si Kecil menggosok gigi, namun mendapat penolakan . Ajak ia menonton kartun kesukaannya yang membahas keseruan menggosok gigi. Usai menonton, bangunlah dialog seperti di bawah ini.
“Tadi Barney menggosok gigi bersama teman-temannya, ya?” (Iya)
“Seru ya, Kak?” (Iya)
“Kata Barney, menggosok gigi dapat mencegah kita dari sakit gigi. Betul ya, Kak?” (Iya)
“Kamu pasti mau giginya selalu sehat dan bebas kuman, kan?” (Iya)
“Kalau ingin giginya sehat, Kakak harus rajin menggosok gigi. Yuk, kita menggosok gigi sekarang sama Ayah/Ibu!”
Sampaikan dengan netral
Pastikan dalam menerapkan berbagai trik di atas, kata-kata yang diucapkan, ekspresi nonverbal, dan nada bicara sejalan. Gunakan suara dan ekspresi yang netral juga tidak terkesan menekan.
Okina berpendapat, kepiawaian kita menggunakan pola bahasa persuasif dengan jenis berbeda-beda lalu digabungkan satu dengan lainnya akan menghasilkan komunikasi yang semakin halus dan kuat tertanam sebagai program bawah sadar.
Ingat pula, tidak ada satu pola yang berlaku untuk semua situasi. Semakin kreatif kita menggabungkan dan mengubah strategi dari pola satu ke lainnya, makin baik pula hasilnya. Selamat mencoba, Parents!
(Febi/Dok. Shutterstock)