Parents, adakah yang sedang mengalami pernikahan terasa membosankan? Sebenarnya perasaan itu wajar dialami manusia, kok. Itu tandanya kita harus mencoba sesuatu yang baru bareng pasangan.
Ngobrol aja udah mulai males, eh malah disaranin buat nyoba hal baru bersama 😀 Yess, saran ini diungkapkan oleh konselor pernikahan, Indra Noveldy.
Dalam webinar yang diselenggarakan Parentalk Hub bertajuk ‘Menikah Itu Membosankan?’, mengajak kita banyak berefleksi tentang goal dan tantangan yang perlu kita lakukan dalam pernikahan agar gak bosan.
“Kalau mau pernikahan terasa menarik, perlu siap mencari ‘gara-gara’. Misal daftar nge-gym bareng pasangan, nge-set goal yang lebih tinggi, lebih padat,” jelas Mas Indra di acara yang sama.
Lantas, kenapa sih bisa bosan? Mesti gimana nih menghadapi pernikahan yang membosankan? Yuk. simak penjelasan serta tips menghadapi situasi ini menurut penjelasan marriage counseling.
Mas Indra, waktu pacaran sama pasangan kita selalu bersemangat dan kalau mau nga-date tuh persiapannya banyak harus kelihatan perfect pas ketemu. Begitu udah nikah, yaudah biasa aja, kan udah dapet orangnya. Apa itu wajar?
Salah satu yang membuat pernikahan jadi membosankan karena mindset seseorang itu, “Menikah saatnya settle down.” Merasa perjalanannya sudah selesai, sudah mendapatkan apa yang dimau tinggal saatnya menikmati, dan perjalanan berakhir.
Kalau mindset-nya seperti itu, bisa menjadi benih berbahaya yang menghadirkan kebosanan, almost confirmed. Kita straight up, naik menjadi lebih bagus dan itu kita perlu punya parameternya, goal-nya apa. Seandainya semua pasangan mau settle down setelah menikah, hidup nyaman, tinggal kerja, ngasih nafkah, nyicil rumah, biaya sekolah anak, tinggal ini-itu.
Lah, jadi apa bedanya sama pekerjaan? Jadi rutinitas. That’s why kebosanan bisa hadir tanpa disadari. Ini bisa jadi bom waktu yang meledak juga nantinya.
Cara melihat kebosanan itu sedang kita alami bagaimana?
Kebosanan ini penjahat dalam pernikahan tapi sulit untuk dilihat. Kalau konflik ‘kan masih kelihatan, ada penjahat yang namanya konflik. Kalau bosan kita gak sadar, tahu-tahu udah ngerasa gak nikmat aja.
Rutinitas aja yang kita kerjakan dalam pernikahan, lalu apa bedanya dengan robot? Jadi sebenarnya cuma diri sendiri yang membuat kita merasa sedang jadi robot. Tanpa disadari rasa bosan itu kita sendiri penyebabnya.
Misalnya, ada setiap hari orang numpuk batu bata dengan semen, orang lain mungkin melihatnya bosan, tetap dalam pikiran orang itu dia melakukan ini agar punya tempat tinggal yang layak jadi dia gak bosan. Jadi kita perlu punya makna dan goal supaya gak seperti robot cuma melakukan hal yang disuruh, diminta, terpaksa.
Bagaimana kalau goal kita dengan pasangan berbeda?
Nah, di situlah keseruannya. Ini ‘kan tantangan, ditambah bebannya, makanya jadi lebih menarik. Kalau gak ditambah bebannya, boring sampai ke ubun-ubun. Kalau mau pernikahan terasa menarik, perlu siap mencari ‘gara-gara’.
Misal daftar nge-gym bareng pasangan, nge-set goal yang lebih tinggi, lebih padat, tambah ‘gara-gara’ lagi. Basically kalau hidup ini gak pengin boring, secara sengaja carilah ‘gara-gara’ untuk poin yang positif. Jangan mau di status quo.
Gak semua orang tertarik untuk menantang dirinya, lebih memilih santai, nyaman aja. Kalau pasangan kita berpikir seperti itu bagaimana?
Kita gak bisa tebak isi pikiran pasangan, belief-nya dia bagaimana. Tugas kita sebagai pasangannya dia jangan pasrah, jangan pundung, jangan manyun. Tugas kita menjual ‘ide-ide’ itu menjadi sesuatu yang sangat menarik pada pasangan.
Misal, Bumin Nucha jadi suka olahraga karena ‘ketularan’ Pak Ario. Jadi ada salah satu pihak yang mulai, bercerita tentang hal-hal yang exciting. Karena olahraga badan jadi kelihatan sehat, awet muda, jarang sakit, postur tubuh keren.
Kalau misal Pak Ario bilangnya gini, “Bu, kamu umur udah berapa? Olahraga dong supaya badannya gak gombyor.” Apakah Bumin jadi ikutan suka olahraga? Justru malah jadi malas, ‘kan?
Jadi ngajak pasangan untuk goal yang lebih maju, lebih baik, tentu gak mudah. Menyamakan frekuensi itu kerja keras. Saat kita ingin menyampaikan sebuah pesan dan pasangan kita gak menangkap pesan tersebut, siapa yang bertanggung jawab? Apakah penerima pesan? Atau penyampai pesan? Tentunya si penyampai pesan.
Gimana supaya goal atau challenge yang mau kita jalanin ini direspons positif sama pasangan?
Gak cukup kita cuma bilang, “Sayang, ayo dong kita bertumbuh lebih baik.” Terus diresponsnya kurang antusias, itu kan bikin bete. Kalau saya sama istri, sebelum saya mengajak istri untuk mau bergerak kemana arah saya sedang menuju, saya pastikan saya duluan yang bergerak.
Jadi nggak tunggu-tungguan. Kalau kita pengin ngajak pasangan, untuk bisa senang melakukan sesuatu, pastikan kita duluan yang melakukan lalu pasangan merasakan manfaatnya. Nah, ini yang gak mudah.
Kalau misalnya Pak Ario mulai nge-gym tapi malah bikin dia tidur seharian, pasti bikin Bumin Nucha bete. Kita ingin naik level, naik kelas, make sure usaha kita itu dirasakan manfaatnya sama pasangan bukan cuma ke kita doang.
Maka itu, yang perlu kita lakukan adalah bersikap baik dengan pasangan. Duduk dan bicara kemana arah yang sedang kita tuju. Alasan kita menjadi bosan karena saat sedang bersikap baik dengan pasangan, dia kerap kali gak merespons.
Awalnya sehari gak direspons, lama-lama setahun. Akhirnya kita juga ikut malas dan apatis, muncul rasa kebosanan. Terlepas dari bagaimana pasangan memperlakukan kita seperti apa tetaplah be nice, be kind karena ini menjadi sebuah investasi yang sangat besar buat kita.
Parents, dari penjelasan Mas Indra, pasti gak mudah mempraktikannya ya, namun segala sesuatu yang besar perlu perjuangan yang besar pula. Ingin punya hubungan yang harmonis dan pernikahan gak membosankan juga butuh usaha besar yaitu dimulai dari diri kita dulu dan manfaatnya bisa dirasakan pasangan.
Semangat, Parents!