Halo Parents!
Akhir-akhir ini, topik seperti autisme dan beberapa topik lainnya yang terkait inklusi, ramai dibicarakan. Hal ini dinilai cukup baik karena kita sama-sama mengetahui bahwasanya awareness tentang autisme atau terkait inklusi lainnya naik.
Sebelumnya, jauh dari waktu sekarang ini, kita juga sama-sama mengetahui bahwa autisme atau topik inklusi terkait lainnya seakan dibungkus oleh mitos yang sayangnya dipercaya oleh banyak orang.
Padahal, autisme atau keadaan inklusi lainnya – bisa dijelaskan secara biologis yang rasional, sehingga pasti ada solusi dari keadaan tersebut.
Seperti definisi sederhana soal autistik. Autistik adalah sebuah kondisi gangguan saraf otak (neurologis) yang berpengaruh pada tiga area perkembangan awal anak, yaitu bahasa, perilaku dan sosial.
Sehingga, anak pada kondisi autisme, terlihat bahasa, serta perilaku dan kemampuan bersosialisasinya berbeda daripada anak pada kondisi normal. Parents, hal ini menandakan juga – secara langsung, bahwa anak dengan kondisi autisme memang memerlukan perlakuan yang spesial atau khusus.
Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana semestinya kita berlaku ke anak dengan autis? Nah Parents, untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, mari kita simak bahasan kali ini sampai selesai, ya.
Mengetahui dan Menerapkan Instrumen yang Tepat
Sering kali ketika orang tua dengan anak yang berkondisi autis datang ke pihak yang dianggap ahli, tetapi para ahli kerap menggunakan instrumen standar. Instrumen standar pada dasarnya dirancang bukan untuk menilai anak dengan kondisi autis.
Parents, kalau menurut Adriana Ginanjar – Ketua Yayasan Autisma Indonesia, kemampuan kognisi anak autistik belum terukur melalui tes intelegensi standar. Sehingga, jika dipaksakan untuk melihat kemampuan anak dengan kondisi autis tetapi hanya lewat tes intelegensi standar, maka kita berkemungkinan untuk tidak melihat bakat atau kemampuan lainnya yang menonjol.
Serial televisi Korea – Extraordinary Attorney Woo, yang memperlihatkan Woo Young Woo – seorang pengacara autistik yang tidak bisa melewati pintu berputar di kantornya. Pintu berputar ini akan dengan mudah dilewati oleh individu neurotipikal.
Tetapi, keadaan tersebut berbalik signifikan saat Woo sedang menghadapi persidangan. Ia bisa terlihat garang dan kerap memenangkan banyak kasus. Hal yang jelas kita bisa lihat dari contoh Pengacara Woo adalah autisme memang membuat seseorang berbeda, sehingga treatment yang perlu diberikan ke mereka juga berbeda.
Klasifikasi Harus Dilakukan Dengan Hati-Hati dan Teliti
Perlu kita ketahui bersama nih Parents, bahwasanya autisme mempunyai beberapa tipe ataupun tingkatan. Sehingga, dalam pengelompokan atau klasifikasi, perlu dilakukan dengan hati-hati dan juga teliti.
Individu autistik mempunyai kondisi yang khas dan tidak bisa sama satu dengan yang lainnya. Jadi, klasifikasi atau kategorisasi ini mesti juga dipandang dengan bijak, Parents. Misalnya autistik non verbal, dianggap sebagai kondisi autistik yang parah. Padahal, beberapa kondisi autistik non verbal menunjukan ketrampilan dan juga bisa mengerjakan tugas dengan baik.
Lalu, bagaimana menentukan klasifikasi autistik? Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) yang disusun oleh Asosiasi Psikiatri Amerika. Dengan instrumen ini, Parents bisa melihat bagaimana spektrum autisme dan bisa mencocokan dengan kondisi si anak.
Penerimaan
Parents, alih-alih melihat kondisi autisme sebagai perbedaan, terkadang pada kenyataannya – masih banyak yang melihat hal ini sebagai keanehan. Sehingga, kecenderungan untuk terjadinya diskriminasi masih besar.
Perlu sekali adanya perspektif baru soal penerimaan kondisi autisme. Perspektif ini perlu sekali diamplifikasi dengan harapan tidak lagi ada yang melihat hal ini sebagai sesuatu yang janggal, tetapi perbedaan yang tetap perlu dihargai dan dihormati.
Penerimaan jadi salah satu fundamental nih, Parents. Terlebih saat anak autistik tengah bertumbuh – baik dari anak itu sendiri, orang tua, guru, dan teman atau lingkungan sekitar – memerlukan sekali unsur penerimaan.
Jika tidak – maka kecenderungan untuk terjadinya frustasi berkepanjangan juga membesar.
Amplifikasi pesan penerimaan ini begitu penting untuk diterapkan. Sehingga, topik inklusi atau hal terkait lainnya tidak hanya menjadi topik pembicaraan saja, tetapi juga menjadi sebuah dasar untuk membuat kebijakan yang mengutamakan mereka dengan kebutuhan spesial/khusus.
Nah, bagaimana nih Parents? Kita sudah sama-sama bisa mengetahui nih – apa saja yang bisa kita lakukan terhadap anak dengan autisme. Penting untuk mengingat dan bisa menerapkan beberapa fundamental yang sudah disebutkan di atas, dengan harapan taraf kehidupan bisa semakin harmonis.