Tahun 2018 yang lalu, K-Drama mempunyai tontonan yang menarik untuk ditelaah dari sisi parenting-nya, K-Drama yang dimaksud adalah Sky Castle.
Coba absen dulu BuIbu atau PakBapak yang suka nonton K-Drama, sudah pernah nonton Sky Castle belum nih?
Kalau belum dan tanpa berniat untuk spoiler – sinopsis sederhana dan singkat untuk Sky Castle adalah kumpulan keluarga kaya raya yang tinggal di sebuah perbukitan real estate yang mewah, di mana setiap keluarga punya anak yang sudah diatur sedemikian rupa soal pendidikan sampai karir-nya.
Kesempurnaan adalah kepuasaan yang mandatory untuk mereka – di mana akhirnya, kita melihat adanya hyper-parenting yang terjadi di drama tersebut. Anak-anak mereka diarahkan untuk mendapatkan nilai sempurna di setiap pelajaran di sekolah, dan diarahkan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi di tempat yang prestisius.
Tapi, diproses ‘pengarahan’ tersebut, ada seorang anak yang akhirnya keluar dari jalur yang sudah ditentukan.
Selebihnya, BuIbu dan PakBapak bisa nonton sendiri, ya. Hihi.
Parents, hai hai semuanya – apa kabar hari ini? Semoga selalu dalam kesehatan yang baik dan segala urusan selalu diperlancar dan dipermudah, ya.
Dari judul dan prolog di atas, bahasan kali ini akan beririsan dengan terminologi hyper-parenting dan juga ambisi orang tua. Dua hal ini begitu berkaitan. Logika sederhananya seperti ini Parents: orang tua yang ambisi akan menghasilkan hyper-parenting.
Apa itu Hyper-Parenting?
Hyper-parenting adalah pola asuh orang tua yang ‘memacu’ anaknya untuk terus berlari kencang ke depan yang di mana track anak untuk berlari tidak punya garis akhir. Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini, cenderung mempunyai kepuasan saat mereka mempunyai kendali penuh terhadap perjalanan anak, apapun perjalanan anak tersebut.
Menurut Psikiater Anak, Dr. Alvin Rosenfed yang dilansir dari Tirto, menyebutkan kalau pola asuh seperti ini biasanya menjadi permasalahan keluarga kelas menengah ke atas. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang tua terhadap ‘program’ tersebut yang bisa membantu anak mereka mencapai kesuksesan.
Ambisi, Ambisi, Ambisi
Pada kenyataannya, memang ada sebagian orang tua yang percaya kalau kepercayaan itu memang ada dan bisa digapai dengan berbagai usaha. Menurut Ahli Psikiatri Remaja Terri Apter – ada anggapan kalau perilaku tersebut adalah perilaku di pola pengasuhan yang baru – di mana anak perlu dikeluarkan semua potensinya sejak dini.
Padahal, ada kemungkinan lain Parents – seperti, ‘membuat sempurna’ untuk anak adalah kecenderungan orang tua yang termotivasi atau dituntut oleh lingkungan – di mana lingkungan mereka juga menunjukan pola asuh yang seperti itu akan berakhir pada kesempurnaan.
Parents, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui bersama soal hyper-parenting yang dibalut dengan ambisi orang tua, seperti munculnya emosi yang kaku dan sulit dikontrol pada anak. Anak yang sudah ‘diprogram’ seperti ini, cenderung akan merasakan beban aturan dan tugas-tugas untuk menuju kesempurnaan. Hal ini akan mengarahkan anak kepada masalah kesehatan mental.
Dengan keadaan hyper-parenting seperti ini, dunia anak akan menjadi terbatas. Sulit sekali melihat anak dengan keadaan seperti ini bisa bermain di luar dengan teman-temannya.
Di dalam buku How to Raise an Adult: Break Free of the Overparenting Trap and Prepare Your Kid for Success yang ditulis oleh Standford Dean dan Julian Lythcott-Haims – menjelaskan kendali penuh kepada anak cenderung membuat anak tidak mendapat kebebasan untuk bersosialisasi. Sehingga, potensi untuk terjadi perundungan ata bully semakin besar karena anak tidak mampu untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Parents, tentu hal ini tidak ingin terjadi di antara anak kita, bukan?
Ambisi Membawa Dampak
Sudah pasti Parents, kalau hal-hal yang dilakukan dengan berlebihan, akan membawa dampak tersendiri – termasuk kendali pada anak.
Dilansir dari Kompas, setidaknya ada tiga dampak yang akan mudah terlihat dari anak, seperti:
Munculnya Rasa Rendah Diri
Rasa rendah diri ini akan muncul, bahkan terpupuk dengan baik jika ekspektasi orang tua dan hasil dari proses anak tidak sesuai. Apalagi jika terjadi secara terus-menerus – hal ini akan dengan mudah menguatkan rasa rendah diri pada anak.
Apakah hal ini akan bagus buat anak? Jelas tidak ya, Parents. Satu hal yang pasti adalah, anak akan dengan mudah menyembunyikan identitas dirinya alias tidak mau tampil. Kepercayaan diri yang tergerus terus karena lebih banyak menemukan kekecewaan dibanding ekspektasi orang tua.
Dibandingkan Itu…Tidak Enak
Alih-alih memotivasi dengan menyebutkan deretan prestasi anak tetangga yang lebih sukses adalah kunci untuk meruntuhkan segala hal yang anak sudah punya. Daya juang akan menurun drastis. Alhasil, demotivasi terjadi setiap waktu.
Risiko jangka panjang dari dampak ini adalah depresi. Depresi berat karena anak menganggap dirinya sama sekali tidak mampu untuk bertemu dengan ekspektasi serta ambisi orang tua. Bahkan, anak berpotensi merasa tidak lagi disayang karena dirinya menjadi bahan pembanding dengan anak lain.
Menyerah dan Selesai
Masih dilansir dari Kompas, menyerah adalah pintu kebebasan anak yang sedikit banyaknya terbuka jika orang tua masih ‘mengarahkan’ mereka dalam kendali tali paksa yang entah kapan selesainya.
Parents, mungkin – dahulu, kita punya ambisi untuk mengejar sesuatu, tetapi kita sendiri tidak mampu untuk menggapainya. Keadaan atau kondisi tersebut, tidak lantas kita estafet-kan kepada anak untuk bergantian mengejar ambisi yang belum diraih.
Anak dan diri kita sebagai orang tua, jelas mempunyai perjalanan hidup yang berbeda. Salah satu pembeda paling signifikan adalah zaman beserta kemajuan-kemajuan yang terjadi di dalamnya. Sehingga, kesadaran adalah langkah fundamental untuk Parents memandu perjalanan anak.
Nah, untuk mengetahui perspektif lain tentang ambisi, mari kita simak video di bawah ini ya Parents!