Saya dan suami kebetulan masih tinggal di rumah mertua. Jadi, satu-satunya ruangan pribadi kami adalah kamar tidur. Di situlah tempat kami beserta kedua buah hati yang berusia 21 bulan dan 3 tahun bermain maupun beristirahat sehari-hari.
Nah, salah satu tantangan terbesar kami adalah kesempatan ‘uhuk-uhuk’. Kami harus membuatnya seringkas dan sesenyap mungkin saat anak-anak terlelap. Alhasil, pemanasan pun hanya sebentar dan ala kadarnya saja. Belum lagi, kami khawatir dengan dampak psikologis anak bila salah satu dari mereka terbangun dan melihat pemandangan yang berlangsung. Duh, sebenarnya aman enggak sih berhubungan seks dekat anak bawah dua tahun? Beruntung, Psikolog Monica Sulistiawati membagi jawabannya untuk #MillennialParents.
Pikiran sadar anak bawah dua tahun belum ada atau masih terbatas
Menurut Monica, hubungan seks dekat anak yang berusia 0-24 bulan tergolong aman dilakukan. Ini karena pikiran sadar (conscious) pada anak-anak di usia tersebut belum terbentuk. Mereka baru memiliki pikiran bawah sadar (subconscious) dan pikiran tidak sadar (unconscious). Dengan begitu, sekalipun anak tanpa sengaja terbangun dan melihat orang tua melakukan hubungan seks, ia belum dapat berpikir, menganalisis, dan memahami pengalaman tersebut.
“Pada anak usia 0-24 bulan, dapat dikatakan, dampaknya tidak ada sebab pikiran sadar memang belum terbentuk sehingga mereka tidak memahami peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Namun ketika anak memasuki usia 24 bulan, kemampuan berpikir mulai terbentuk. Ia mulai mengenali objek, warna, bentuk, dan fungsi sederhana benda,” jelas Monica kepada Parentalk.
Anak berusia 24 bulan mulai bisa membentuk persepsi
Di usia 24 bulan, lanjut Monica, sedikit demi sedikit pikiran sadar dan kemampuan membentuk persepsi anak mulai terbentuk meski bawah sadarnya tetap lebih dominan. Akibatnya, pengalaman melihat orang tua melakukan hubungan badan dapat menghasilkan persepsi pada anak.
“Persepsi yang terbentuk dapat bersifat positif maupun negatif, tergantung kondisi orang tua saat si anak terbangun, namun umumnya negatif. Misalnya, anak yang tidak sengaja melihat posisi ayah di atas ibu dan ibu sedang mengerang. (Pemandangan itu) dapat saja menimbulkan persepsi bahwa ayah sedang menyakiti ibu dan ini dapat menimbulkan ketakutan atau trauma pada si anak,” tambah Monica.
Apalagi, anak masih mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi sehingga orang tua akan kesulitan mengenali atau memahami persepsi anak tersebut.
Anak di bawah dua tahun lebih mudah lupa
Walau begitu, pengalaman atau trauma yang dialami anak di usia ini dapat lebih cepat pulih atau lebih cepat dilupakan dibandingkan anak yang berusia lebih tua. Lagi-lagi, ini karena pemikiran sadarnya belum terbentuk sempurna dan masih didominasi bawah sadar.
“Namun, penting untuk diingat dan diperhatikan, bukan berarti orang tua boleh dengan sengaja melakukan hubungan seks di hadapan anak yang berusia 0-24 bulan. Bagaimanapun, jika perilaku seksual ini diamati secara berulang oleh anak, ia akan menyerap pengalamannya tersebut dan menyimpannya di pikiran bawah sadar,” pesan Monica.
Pikiran tersebut, lanjut Monica, nantinya dapat memainkan peran lebih besar daripada pikiran sadar dalam pembentukan perilaku saat si anak berusia lebih tua. Misalnya, dalam pembentukan kebiasaan atau emosi.
Jika memungkinkan, lakukan di ruangan terpisah
Monica pribadi menyarankan orang tua untuk melakukan hubungan seksualitas di ruangan terpisah dengan anak berapapun usianya kalau memungkinkan. Hal ini semata-mata bertujuan untuk kenyamanan orang tua dalam melakukannya agar lebih leluasa, tidak was-was, dan sungguh-sungguh menikmati momen spesial tersebut.
“Tapi, jika kondisi tidak memungkinkan, saya menyarankan orang tua untuk tidak lagi melakukan hubungan seksualitas di dekat anak yang tertidur ketika ia memasuki usia 18 bulan ke atas. Kenapa 18 bulan, bukan 24 bulan? Sebab, kematangan kemampuan berpikir setiap anak berbeda-beda, ada yang lebih cepat, ada yang lebih lambat,” terang Monica.
Umumnya kemampuan berpikir berkembang di usia 24 bulan. Namun, menurut Monica, lebih baik jika orang tua mempersiapkan diri dan anak-anak lebih dini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
(Febi/Dok. Shutterstock)