Anak saya yang berusia 2,5 tahun cenderung memiliki ego yang tinggi. Saya dan suami pun harus bertindak kreatif, tenang, dan antisipatif agar ia mau mendengarkan arahan kami. Kalau enggak, anak tantrum atau adegan tarik-menarik barang dengan ibunya bakal menjadi pemandangan yang disuguhkan.
Untungnya, saya berkesempatan ngobrol dengan Psikolog Pendidikan Binky Paramitha dari Rumah Dandelion yang berbagi tips anak balita mau menurut.
Komunikasikan aturan di awal
Menurut Binky, orang tua dapat mengomunikasikan aturan kepada anak di atas dua tahun sebelum melakukan kegiatan atau agenda tertentu bersama-sama. Aturan pun perlu disertai alasan dan konsekuensi yang disepakati orang tua maupun anak. Trik briefing ini bisa diterapkan untuk hal-hal yang berlaku sehari-hari dan dapat diprediksi.
Contohnya, Ayah atau Ibu hendak jalan-jalan ke mal. Si kecil cenderung suka nyelonong dan berlari ke luar setelah pintu mobil dibuka. Untuk menghindari hal tersebut, kamu bisa mengomunikasikan aturan seperti:
- “Abang/adik harus menunggu Ayah atau Ibu turun dulu dan membukakan pintu, ya. Soalnya, banyak mobil melintas di jalanan. Bila tidak berhati-hati, kita bisa tertabrak.”
- “Abang/adik harus menggandeng tangan Ayah atau Ibu supaya tidak terpencar.”
Lalu, beri tahu konsekuensinya kepada anak seperti tidak akan melanjutkan perjalanan bila ia enggan mengikuti aturan.
Berlakukan konsekuensi
Ketika anak menolak mengikuti arahan, ingatkan kembali konsekuensi yang telah disepakati.
“Sebenarnya anak berumur di atas dua tahun sudah memahami aturan dan konsekuensi. Kita (orang tua) perlu konsisten menjalankannya. Kalau kita sudah kasih tahu A, ya kita jalanin saat itu. Mama dan Papa harus satu suara,” jelas Binky.
Ia juga menyarankan orang tua untuk menghindari ancaman dan mengutamakan konsekuensi. Apa bedanya?
Saya contohkan perbedaan konsekuensi dan ancaman berupa aturan main sore untuk anak yang lebih besar, ya.
Konsekuensi
Rencana kegiatan, aturan, dan akibat bila melanggar kesepakatan sudah diberitahukan sedari awal. Hal yang anak dapatkan kelak sesuai dengan kesepakatan tersebut.
“Jam 04.00 sore adik mandi, ya, supaya mainnya bisa satu jam. Kalau adik mandinya belakangan, waktu mainnya menjadi lebih sedikit karena jam 05.30 sore sudah harus berada di rumah.”
Ketika si kecil tidak mau mandi sesuai jadwalnya, orang tua mengingatkan lagi aturannya. Ketika sudah tiba waktunya pulang, Ayah atau Ibu menjalankan konsekuensi yang telah disampaikan apapun reaksi anak (misal, menangis karena masih ingin bermain).
Ancaman
Tidak ada komunikasi sebab-akibat sebelumnya dan bersifat spontan.
“Kalau kamu enggak mandi, enggak usah main ke luar, ya.”
Menurut Binky, biasanya ancaman tidak berhasil. Contoh lainnya, anak merengek meminta permen dan si ibu mengancam akan meninggalkannya. Padahal, ia tidak mungkin meninggalkan anaknya di mini market. Si kecil juga tahu bahwa ibunya sekadar bicara. Dampaknya, anak kelak meniru kebiasaan memberikan ancaman kosong seperti itu, yaitu berbohong untuk mendapatkan sesuatu.
Lantas, bagaimana jika anak enggan menurut di saat orang tua belum melakukan briefing atau berada dalam situasi tak terduga? Cari tahu solusinya di artikel Tips Bernegosiasi dengan Anak Balita
(Febi/ Dok. Shutterstock)