Fake orgasm atau orgasme palsu dialami oleh perempuan yang berpura-pura mengalami orgasme, padahal nggak merasakannya. Perilaku ini sering dilakukan saat berhubungan intim dengan maksud menyenangkan hati pasangan atau membuat merasa percaya diri.
Sekarang Mammin tanya, menurut Parents perilaku seperti itu patut nggak sih kita lakukan? Atau mungkin di sini ada yang pernah melakukan fake orgasm?
Yap! Fake orgasm nggak sebaiknya kita lakukan karena lama-kelamaan akan berpengaruh pada kualitas hubungan pernikahan, termasuk urusan ranjang. Masalahnya, ada cukup banyak perempuan yang melakukan orgasme palsu ini.
Seksolog dr. Haekal Anshari, M. Biomed menjelaskan, hal tersebut sudah dibuktikan oleh sejumlah survei yang dilakukan pada 2010 oleh ilmuwan dari University of Central Lancashire dan University of Leeds, Inggris, bahwa 80 persen perempuan mengaku melakukan orgasme palsu.
Alasan perempuan memilih untuk fake orgasm karena khawatir dianggap aneh bila nggak menunjukkan antusiasme yang sama seperti pasangannya saat mencapai orgasme. Padahal saat itu perempuan belum mencapai orgasme atau sama sekali nggak menikmati hubungan seksual. Penyebab lainnya, perempuan berusaha ingin membuat pasangannya merasa berhasil telah membuatnya ‘puas’.
Kok bisa ya, pura-pura puas padahal nggak? Nah, bisa jadi perempuan merasa nggak masalah ketika merasa harus melakukan fake orgasm. Namun lama-kelamaan ini bisa berdampak pada kualitas hubungan dan seksual. Perempuan nggak merasa mendapat kenikmatan seksual, lalu menjadi nggak percaya diri, jengkel karena nggak merasa terlampiaskan dan merasa ada yang salah pada dirinya.
“Lambat laun akan bisa menurunkan minat untuk melakukan hubungan seksual sehingga akan menurunkan kualitas hidupnya. Perempuan harus bangun dan buka komunikasi seksual dengan pasangan, kepuasan seksual pasutri adalah kepuasan bersama (kedua pihak),” jelas dr. Haekal.
Untuk Parents yang melakukan fake orgasm, sebaiknya nggak merasa tabu untuk membicarakan hubungan seksual pada pasangan. Bukan bermaksud menyalahkan pasangan, namun mencari jalan keluar bersama agar bisa saling merasakan kepuasan dalam hubungan seksual.
Nggak menutup kemungkinan ini disebabkan oleh pihak lelaki, bisa aja ternyata pasangan mengalami disfungsi ereksi, ejakulasi dini, atau foreplay yang kurang optimal dalam menstimulasi titik G-Spot perempuan.
Jadi, inget kata dr. Haekal, kepuasan seksual harus dirasakan oleh kedua pihak. Bila Parents mengalami ini, segera bicarakan secara terbuka pada pasangan atau berkonsultasi pada seksolog.
Semangat untuk kepuasan bersama ya, Parents!