Salah kaprah soal pernikahan mungkin pernah terjadi sama Parents. Awalnya mengira pernikahan itu adalah akhir dari segalanya yang berujung bahagia.
Kenyataannya gimana? Hayo.. jawab 😀 Bahagia juga sih, tapi pasti ada naik turunnya kayak naik roller coaster.
Ya, emang bener masih banyak banget di antara kita yang menganggap pernikahan adalah happy ending. Padahal ya.. nggak sedikit yang harus kita lewatin dan itu bisa ningkatin stres.
Beberapa waktu lalu, Bumin ngobrol tentang salah kaprah soal pernikahan sama psikolog Analisa Widyaningrum. Dia juga mengakui, banyak pasangan yang mengira bahwa menikah akan selalu cinta-cintaan aja.
Nah, sebelum ada yang kemakan mitos soal pernikahan yang always happy, kita langsung jelasin aja. Ada enam salah kaprah soal pernikahan yang selama ini banyak dipikirkan oleh pasangan, berdasarkan penjelasan Mbak Analisa Widyaningrum.
Pernikahan adalah happy ending
Ini yang tadi sempat disinggung sebelumnya. Banyak yang mengira setelah menikah itu akan punya anak, hidup kaya raya, layaknya seperti cerita di sinetron. Terus pas udah nikah bener-bener di luar bayangan.
Ada aja yang belum dikasih momongan sekian tahun, ternyata rumah tangga itu banyak banget pengeluarannya, dan lain sebagainya. Kalau nggak sesuai ekspektasi biasanya kita akan kecewa berat.
Kita dan pasangan menjadi satu kesatuan
Waktu lagi cinta-cintanya mungkin kita akan berpikir ketika menikah, aku adalah milikmu sepenuhnya. Cuma ada suami dan istri, istri jadi Ibu, dan suami jadi Ayah. Udah sekedar itu aja.
Apakah kita nggak inget sama mimpi yang ingin dikejar? Jadinya masing-masing akan merasa ada yang hilang dari dirinya. Akhirnya balik lagi, nggak merasa bahagia dalam pernikahan.
Pernikahan dapat menyelesaikan masalah
Kalau memang pernikahan selalu menyelesaikan masalah, lalu kenapa ada perceraian?
Mengutip Lokadata, perceraian di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada 2020, persentase perceraian naik menjadi 6,4 persen dari 72,9 juta rumah tangga atau sekitar 4,7 juta pasangan.
Terdapat tiga faktor yang kerap kali menjadi alasan untuk bercerai yaitu; perselisihan, pertengkaran yang terus menerus, dan faktor ekonomi.
Sifat atau karakteristik pasangan yang dianggap bisa berubah
Sering denger nggak sama ungkapan kayak gini, “Nanti kalau udah nikah juga berubah, biasanya kalau udah punya anak bakal hilang sifat jeleknya.”
Mengubah sifat atau karakteristik nggak segampang itu lho, Parents. Banyak yang waktu masa pacaran pasangannya sering melakukan kekerasan, terus yakin kalau menikah nanti akan berubah. Namun ketika ada pemicunya, pasangan jadi kembali bersifat kasar.
Menurut Hellosehat, nggak ada yang bisa menjamin seseorang yang keras dan kasar bisa berubah sepenuhnya atau nggak. Tapi yaa, nggak menutup kemungkinan akan bisa berubah sepenuhnya. Manusia kan memang bisa berubah menjadi lebih baik atau sebaliknya.
Jadi itu balik lagi ke pribadi masing-masing dan nggak ada yang bisa menjamin pasangan bakal bisa berubah menjadi lebih baik.
Pasangan melengkapi
Hal ini masuk dalam salah kaprah tentang pernikahan. Seharusnya kita saling melengkapi. Kalau cuma pasangan yang melengkapi, terus kita cuma diem aja? Hehe.
Jadi ketika pasangan merasa ada yang kurang suatu hal baik itu dalam dirinya, kita sebagai pasangan perlu melengkapinya.
Misal dia merasa kurang soal mengurus anak, masih canggung. Nah, kita bisa dong ngajarin pasangan supaya kita melengkapi. Saling bisa dan nantinya bisa bergantian dalam mengurus anak.
Bagaimana Parents, apakah ada yang relate? Pernikahan memang bukan hal mudah untuk dijalankan tetapi kita dan pasangan perlu siap menghadapinya.
Masalah dan stres memang selalu ada selama kita hidup dan itu akan menaikan kita ke level yang lebih tinggi, yaitu menjadi orang yang lebih dewasa dan bijak lagi 🙂