Tanpa diduga, si kecil yang berusia balita memukul, menjambak, bahkan menggigit teman sepermainannya. Kamu dan pasangan pun terkejut melihat perilaku agresif balita. Padahal, selama ini kalian tidak pernah berlaku agresif seperti itu. Ada apakah gerangan?
Menurut Heidi Murkoff dan Sharon Mazel, penulis buku What To Expect The Second Year, anak berlaku agresif karena berbagai kemungkinan.
- Terbatasnya kemampuan berkomunikasi (“Minggir! Kamu menghalangi jalan aku!”)
- Kerap merasa frustrasi (“Aku gigit ayah supaya ia tahu kalau aku sangat marah!”)
- Terdorong rasa ingin tahu akan sebab-akibat (“Kalau aku tarik rambutnya Zizi, ia bakal menangis atau enggak?”)
- Eksperimen indrawi (“Kalau aku gigit pundaknya Anita rasanya sama dengan telinganya Bima atau rasanya mirip dengan tangan mama?”)
- Ungkapan rasa sayang atau gemas (“Adik ngegemesin!”)
- Bentuk keegoisan (“Aku dorong anak-anak lain, ah, supaya bisa naik perosotan duluan!”)
- Keisengan si kecil pada anak-anak lainnya
- Tanda kebosanan, kelelahan, menerima terlalu banyak stimulasi, rasa lapar, dan tumbuh gigi (bila menggigit)
Tak bermaksud menyakiti
Kebanyakan anak suka menggigit saat usianya di antara 1 dan 3 tahun, sementara balita yang berusia sangat muda menyakiti orang lain tanpa maksud tertentu. Biasanya mereka berperilaku agresif karena belum tahu bahwa orang lain memiliki perasaan. Pada usianya sekarang, si kecil masih senang mencoba pengalaman sebab-akibat berdasarkan rasa ingin tahunya yang tinggi dan belum memiliki empati.
Ini berarti perilaku agresif pada balita tidak bisa dinilai jahat atau tak berperasaan. Namun, ketika Ayah atau Ibu melihatnya hendak menyakiti orang lain, itulah saat yang tepat untuk mengenalkan empati. Katakan dengan tegas, “Jangan pukul! Memukul menyakiti orang lain. Aduh!”
Jangan membalas dengan kekerasan fisik
Jika anak Ibu adalah korban, berkatalah, “Kalau pukul-pukul sakit, ya? Makanya kita enggak boleh pukul-pukul.”
Awasi aktivitas bermain anak dari dekat dan ketika orang tua mengendus perilaku agresif, pindahkan si penyerang dari calon korban, lalu alihkan kedua anak pada aktivitas lainnya.
Jangan pernah merespon perilaku agresif anak dengan serangan fisik seperti pukulan dan sebagainya. Pukulan dan kekerasan fisik lainnya hanya mengajarkan si kecil bahwa tindakan tersebut ‘tepat’ untuk merespon tekanan maupun amarah. Jadi, pastikan Ayah atau Ibu dapat mengontrol emosi saat menghadapi polah si kecil.
Orang tua pun dapat membantu anak mengendalikan perilaku agresifnya lewat berbagai cara.
Perhatikan perilaku baiknya
Pukulan, gigitan, dan perilaku agresif lainnya terkadang bertujuan untuk mencari perhatian. Dengan lebih memedulikan perilaku-perilaku baiknya dan tak mengindahkan kekerasan yang ia lakukan, si kecil bakal menahan diri untuk berulah.
Gunakan kata-kata untuk ekspresikan emosi
Doronglah anak mengomunikasikan perasaannya lewat kata-kata. Bantu ia menemukan kata yang dapat menggantikan perilaku agresifnya. Misal, “Kamu kesal karena mainanmu diambil, ya?”
Bimbing si kecil menghadapi perasaanya
Setiap orang boleh-boleh saja mengalami emosi tertentu. Namun, tak sepatutnya sebagian emosi disalurkan lewat tindakan. Ajarkan anak bahwa tidak apa-apa bila ia merasa marah karena seorang teman merebut mainan darinya. Tapi, jangan sampai rasa marah membuatnya memukul orang lain.
Libatkan anak pada aktivitas menenangkan
Beristirahatlah pada jam-jam saat anak biasanya merasa lelah maupun tegang. Selama itu, Ibu dan buah hati bisa berbaring bersama sambil berpelukan, menyanyi, membaca, dan melakukan hiburan lainnya yang menenteramkan. Kegiatan seperti ini dapat membantu si kecil meleburkan agresinya.
Namun, bila amarah si kecil tak tertahankan lagi, sediakan sarana yang tepat baginya untuk menyalurkan emosi. Misal, memukul-mukul drum atau bantal, menepuk-nepuk air di bak mandi, atau mencabut rumput liar di taman.
(Febi/ Dok. Pixabay)