“Jangan naik-naik meja!”
“Jangan pegang-pegang pasir, kotor!”
“Tidak boleh main air!”
Sudah berapa kali kamu mengucapkan kata “jangan” dan “tidak” hari ini, Bu? Ternyata terlalu banyak melarang anak dapat berdampak terhadap perkembangannya. Menurut Psikolog Ratih Ibrahim, nyali si kecil dapat menjadi ciut bila ia terus-menerus dilarang.
Seperti dilansir Tempo.co, Ratih menyarankan orang tua tak perlu terlalu khawatir dengan anak yang sedang bereksplorasi dan cukup memberikan rambu-rambu saat ia hendak menjajaki pengalaman baru. Misal, dengan mengingatkan anak untuk langsung mencuci tangan setelah bermain pasir.
Efektivitas makna sebenarnya berkurang
Selain menghambat eksplorasi anak, terlalu banyak kata “tidak” dan “jangan” justru dapat mengurangi efektivitas makna sebenarnya. Terlebih, anak berusia 1-2 tahun cenderung tertarik mengucapkan kata-kata negatif tersebut untuk merespon permintaan maupun perintah orang tua.
Perlu orang tua pahami, seiring bertambahnya usia, anak menyadari bahwa ia adalah individu yang terpisah dari ibunya. Identitasnya pun bertumbuh sehingga ia membutuhkan kemandirian dan otonomi untuk melakukan apapun dengan caranya sendiri. Maka tak heran, balita sering melontarkan kedua kata tadi.
Karena itulah, orang tua maupun anak-anak dapat merasa frustrasi dan tertekan bila keduanya sama-sama bersikeras mengatakan “tidak.”
Orang tua bisa menggunakan kata “tidak” dan “jangan” dengan bijak agar buah hati tetap mau mendengarkan juga menuruti.
Beri anak pilihan
Jika Ibu menginginkan anak memakai bajunya, buatlah ia memilih di antara dua alternatif yang dapat diterima dan sepadan. Hal ini berlaku pada situasi lainnya. Dengan cara ini, anak merasa memiliki ‘wewenang’ untuk menentukan pilihan.
“Pakai baju warna merah atau warna biru?”
“Kamu mau membereskan balok-balok atau puzzle terlebih dulu?”
“Main bersama Andi dengan baik atau main sendiri?”
Gunakan kalimat positif
Anak suka mengatakan “tidak” dan “jangan” karena sering mendengar orang-orang sekitar mengatakannya. Sekarang saatnya mengurangi lontaran kata-kata tersebut sehingga si kecil lebih mendengarkan Ayah ataupun Ibu. Salah satu caranya, dengan mengubah larangan menjadi ajakan ataupun permintaan positif.
“Berjalan saja ya, di dalam rumah” ketimbang “Jangan lari-lari di dalam rumah!”
“Yuk, kita berjalan di trotoar supaya bisa lihat burung” ketimbang “Jangan berjalan di lumpur!”
“Kita main di lantai aja, yuk!” ketimbang “Jangan naik-naik ke atas meja!”
“Sayang adik, ya” ketimbang “Jangan pukul adik!”
Mengalihkan perhatian anak
Ketika si kecil hendak melakukan hal yang tak patut, orang tua dapat mengalihkan perhatiannya terhadap hal atau benda-benda di sekitarnya atau aktivitas lainnya. Misal, saat anak ingin melompat-lompat di atas sofa, Ibu bisa membuat sejumlah skenario agar ia urung melakukannya.
“Lihat, ada kucing bermain di depan rumah!”
“Kita main petak umpet aja, yuk!”
Dengan cara ini, orang tua dapat menahan diri untuk melontarkan larangan.
Katakan larangan dengan serius dan tanpa amarah
Hindari melontarkan larangan, sementara Ibu tidak beranjak dari aktivitas yang dikerjakan. Misal, si kecil hendak mencoba makanan kucing peliharaannya. Ibu dapat langsung menyingkirkan makanan kucing tersebut seraya berkata dengan serius dan tenang, “Jangan makan makanan si Belang, ya.” Ikuti penjelasan singkat bila perlu, seperti “karena kamu bisa sakit perut.”
Simpanlah larangan untuk hal yang sangat penting. Misal, untuk hal-hal yang dapat membahayakan anak dan orang lain maupun menyebabkan kerusakan.
Kami paham, awalnya pasti sulit mengurangi kata-kata larangan seperti “jangan” dan “tidak.” Namun, dengan berusaha membiasakannya, lama-lama penerapannya akan lebih mudah.
Referensi:
- What To Expect TheSecond Year oleh Heidi Murkoff dan Sharon Mazel
- Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur: 37 kebiasaan Orang Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada Anak oleh Edy Wiyono (Ayah Edy)
- “Resistance: What to do about the endless no’s” pada BabyCenter
(Febi/ Dok. Pixabay)