Vaksin campak, gondongan, dan rubella (MMR) sudah kembali terdistribusi di Jakarta pada pertengahan Januari 2019. Merek vaksinnya, MMR-II dari MSD. Vaksin MMR berbeda dengan MR (campak dan rubella). Soalnya, vaksin MR tidak mengandung virus gondongan. Meski begitu, menurut Dokter Spesialis Anak Yulianto, kedua vaksin tersebut efektif memberikan perlindungan terhadap penyakit yang dituju.
Anak sebaiknya diberikan vaksin MMR pada usia 15 bulan dan diulang saat 4-6 tahun. Selain itu, dr. Anto mengungkapkan, kalau sebelumnya Si Kecil sudah menerima vaksin MR, ia boleh mendapatkan vaksin MMR, kok.
Efek samping vaksin MMR berupa demam, ruam, pembengkakan di kelenjar pipi (1 dari 75 kasus), dan kejang (1 dari 3.000 dosis).
Nah, salah satu hal yang sering menjadi perhatian Millennial Parents beragama Islam adalah kehalalan vaksin MMR. Dokter Anto pun membagikan beberapa tautan ilmiah kepada Parentalk yang membahas kandungan gelatin babi (porcine) pada vaksin MMR, fatwa tentang imunisasi, dan fakta serangan penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi di negara-negara mayoritas Muslim.
Porcine tidak terdeteksi pada hasil akhir vaksin MMR
Jurnal ilmiah yang disusun oleh Ali Ahmed, dkk., mengungkapkan bahwa Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian memutuskan, jumlah sumber porcine tidak signifikan dalam vaksin (salah satunya MMR) sehingga terlalu kecil untuk membuat perbedaan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Mediterania Timur juga melaporkan, sumber porcine telah diubah secara cukup menjadi zat lain, diubah sifatnya, dan diubah dari zat najis menjadi zat suci yang dapat diperbolehkan bagi Muslim.
Di kesempatan terpisah, dokter yang bertugas sekaligus pemilik Rumah Vaksinasi Grogol, Tri Permatadewi, mengungkapkan bahwa sejauh ini memang belum ada sertifikasi halal untuk vaksin MMR.
“Tapi, hasil terakhir Lab Halal LPPOM MUI menyatakan bahwa pada hasil akhir, porcine tidak terdeteksi pada vaksin MMR. Selain itu, karena belum ada penggantinya dan vaksinasi MMR dianggap darurat (demi mencegah efek negatif jika anak tak diimunisasi), vaksinasi MMR boleh diberikan,” jelas dr. Tri kepada Parentalk.
Kasus penyakit campak meningkat drastis di negara mayoritas Muslim
Dokter Anto menegaskan, hal yang dikhawatirkan bila vaksinasi tidak dilakukan adalah kemunculan kembali penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah lewat imunisasi.
Ali Ahmed, dkk. pun mengungkap peningkatan tajam kasus penyakit yang dapat dicegah lewat vaksin di beberapa negara mayoritas Muslim. Salah satunya penyakit campak. Di Mesir, dalam sepuluh bulan pertama tahun 2015, sebanyak 5.000 anak tercatat terinfeksi campak. Begitu juga di Malaysia, kasus penyakit campak dilaporkan meningkat dari 197 kasus (2015) menjadi 873 kasus pada Juni 2016.
Masih menurut jurnal yang sama, salah satu faktor penyebab meningkatnya kasus penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin adalah penolakan dan keraguan orang tua untuk menyetujui vaksinasi anak. Di Malaysia, ada kesalahpahaman orang tua terkait penggunaan vaksin. Hal itu disebabkan maraknya berita viral di media sosial yang menyatakan bahwa vaksin adalah permufakatan untuk melemahkan umat Muslim. Bahkan, ada spekulasi liar yang beranggapan, vaksin adalah cara yang dimaksudkan untuk menyebarkan penyakit ke komunitas-komunitas non-Barat.
“Penyebaran informasi yang tidak akurat dan tidak bertanggung jawab oleh gerakan antivaksinasi dapat menimbulkan lebih banyak kerugian daripada kebaikan pada komunitas Muslim,” ungkap jurnal tersebut.
Cermati lagi isi fatwa MUI mengenai imunisasi
Dokter Anto pun mengajak Millennial Parents untuk mencermati lagi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2016. Dalam fatwa tersebut, Komisi Fatwa MUI menetapkan enam poin penting pada bagian Ketentuan Hukum.
- Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.
- Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.
- Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram.
- Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali: a) digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat; b) belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan c) adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.
- Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.
- Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).
Semoga informasi di atas dapat menjadi acuan Millennial Parents dalam mempertimbangkan pemberian vaksin MMR pada Si Kecil, ya!
(Febi/Dok. Shutterstock)