Ibu mana yang enggak ‘panas’ ketika buah hatinya mendapat julukan negatif dari orang lain. Sudah kesekian kalinya saya mendapati si Kakak dijuluki “nakal” oleh om-nya. Kebetulan, si om yang merupakan adik kandung saya itu masih duduk di bangku sekolah dasar. Jadi, kebayang kan bagaimana sulitnya mengingatkan anak-anak yang belum peduli soal parenting?
Sebenarnya tidak hanya adik kandung, mama saya juga pernah khilaf menjuluki si Kakak. Misalnya, saat si Kakak menangis karena mencari-cari saya, mama berkata, “Kakak kok sekarang cengeng, ya?” Kalau sudah berhadapan dengan kondisi-kondisi tadi, saya hanya bisa berujar, “Duh, mamanya saja enggak pernah bilang anaknya cengeng/nakal, lho.”
Nah, bagaimana ya, kalau anggota keluarga iseng terhadap anak?
Tanamkan keberhargaan diri pada anak
Menurut Psikolog Monica Sulistiawati, secara umum sebenarnya kita sulit, bahkan hampir mustahil, mengendalikan orang lain meski ia bagian dari keluarga sendiri. Upaya mengendalikan yang dimaksud, baik perkataan, perbuatan, maupun pikiran termasuk mengenai anak kita.
“Apalagi, terhadap orang lebih tua seperti kakek atau nenek yang mungkin menilai dirinya sudah ‘lebih berpengalaman.’ Jadi, cara yang paling mudah menghadapi anggota keluarga yang ‘iseng’ terhadap anak adalah dengan memberikan Si Kecil kekebalan atau perlindungan terhadap dirinya sendiri. Kekebalan yang dimaksud adalah self-esteem (keberhargaan diri) yang positif bahwa diri anak sebenarnya baik, pintar, cerdas, dan lain-lain, tidak seperti hal yang dikatakan orang lain,” jelas Monica kepada Parentalk.
Untuk menumbuhkan keberhargaan diri positif pada Si Kecil, orang tua harus menunjukkan kasih sayang tanpa syarat dan batas.
Tunjukan pembelaan
Orang tua juga bisa menunjukkan pembelaan yang tepat terhadap Si Kecil jika ada anggota keluarga yang mulai iseng. Beberapa contoh pembelaan berikut ini bisa kamu terapkan di berbagai situasi.
Situasi 1: Anak disebut “penakut” karena menangis saat didekati orang baru.
Orang tua dapat membela dengan mengatakan, “Adek pemberani kok, Tante, hanya belum kenal saja.”
Situasi 2: Anak dijuluki “nakal” karena melempar-lempar pasir.
Ayah atau Ibu bisa bilang, “Adek tidak nakal, Nek. Adek anak baik, cuma penasaran dengan pasir itu.”
Situasi 3: Si Kecil menangis karena mainannya dibawa pergi oleh om-nya.
Orang tua dapat mengarahkan Si Kecil untuk meminta kembali mainannya dengan memberikan contoh konkret mengenai cara seharusnya ia meminta. Misal, dengan berkata, “Sudah, stop nangisnya. Yuk, kita minta mainannya sama Om Dito bareng Ibu/Ayah. Om Dito, Adek masih mau main, minta dong mainannya.”
Berikan masukan terhadap pelaku keisengan
Menurut Monica, meski hampir mustahil mengendalikan orang lain, orang tua tetap bisa mengkomunikasikan sikap-sikap yang diharapkan dari anggota keluarga lain terhadap Si Kecil.
- Memberitahukan anggota keluarga tentang perasaan yang mungkin dialami Si Kecil. Contoh: “Kalau diledek terus, Adek malah semakin nangis.”
- Menyarankan hal yang sebaiknya dilakukan anggota keluarga terhadap Si Kecil. Contoh: “Kalau mau bercanda dengan Adek, sebaiknya ajak main petak umpat saja. Dia senang, lho, daripada kejar-kejaran.”
- Mengungkapkan rasa tidak nyaman orang tua kepada anggota keluarga jika Si Kecil diganggu. Tunggu momen yang pas untuk menyampaikannya seperti saat makan bersama atau menonton televisi bersama. Contoh: “Sebenarnya aku enggak suka kamu tadi ganggu Adek seperti itu. Kalau kamu langsung merebut mainan dan membawanya lari, dia akan belajar merebut mainan juga dari orang lain.”
- Pada saat mengungkapkan hal-hal yang tidak disukai atau tidak membuat nyaman, sertakan juga alasan yang logis. Tujuannya agar anggota keluarga dapat menerima dan memperbaiki diri. Contoh: “Aku enggak suka karena…”
Semoga berbagai tips di atas dapat membuat Parents lebih memberdayakan anak, ya. Semangat!
(Febi/Dok. Shutterstock)