Dulu, anak yang cerdas selalu dikaitkan erat dengan kemampuannya memperoleh nilai akademik yang baik. Namun menurut Psikolog Anak dan Remaja Monica Sulistiawati, definisi cerdas semacam ini mulai bergeser. Monica berpendapat, cerdas yang relevan dengan zaman now adalah kemampuan untuk:
- mempelajari sesuatu,
- mengolah masalah terkait sesuatu,
- berpikir tajam terkait sesuatu, dan
- menghasilkan produk/solusi relevan untuk mengatasi permasalahan yang dipelajarinya.
Untuk mengasah kecerdasan anak pun, orang tua sebaiknya tak hanya terpaku pada kecerdasan intelektual (IQ), tetapi juga turut memperhitungkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Perhitungkan pula minat dan bakat buah hati.
Saya pun mewawancarai Psikolog Monica untuk mencari tahu lebih jauh gambaran kecerdasan yang menjawab perkembangan zaman now. Yuk, simak obrolan kami berikut ini!
Kecerdasan seperti apa sih, yang dibutuhkan sekarang dan masa depan? Apakah tes IQ yang hanya mengukur kecerdasan matematika dan bahasa itu masih relevan dengan perkembangan zaman?
Sebenarnya masih relevan, namun tidak dapat dijadikan tolak ukur satu-satunya. Kenapa relevan? Soalnya, IQ merupakan faktor utama yang menentukan seseorang bisa menampilkan dirinya secara tepat atau tidak melalui kemampuan berpikir tajam, logis, dan rasional di lingkungan. Tak terkecuali dalam meniti karier yang ditekuni. Misalnya untuk hal berinteraksi maupun berkomunikasi, memahami instruksi serta menaatinya, dan lain-lain.
Meski demikian, saya mengakui bahwa khusus untuk Indonesia, alat tes IQ ini masih harus dikembangkan lebih lanjut. Hingga saat ini alat tes IQ yang digunakan tergolong lama sekali. Pasalnya, tes tersebut masih berdasarkan norma belasan atau puluhan tahun silam.
Apa saja yang mempengaruhi kecerdasan intelektual seorang anak?
Selain dipengaruhi oleh bawaan (nature), IQ juga dapat diasah dan distimulasi terus-menerus melalui pendidikan di sekolah, keluarga, maupun lingkungan tempat tinggal.
Seberapa penting IQ bagi kehidupan anak?
Jika kecerdasan ini tidak terstimulasi dengan baik dan ‘asupannya’ kurang terpenuhi, maka individu yang bersangkutan akan sulit menyesuaikan diri di lingkungan.
Apalagi, IQ penting diketahui dan dikembangkan terutama saat seseorang ingin menempuh pendidikan lanjutan di sebuah lembaga. Melalui hasil tes IQ, lembaga terkait dapat menentukan sejauh mana si individu tersebut dapat mengikuti proses pembelajaran juga metode apa yang tepat diberikan kepadanya.
Meski demikian, IQ bukan satu-satunya penentu keberhasilan maupun kesuksesan individu. IQ yang erat kaitannya dengan prestasi akademik juga belum tentu berpengaruh terhadap prestasi-prestasi lain di luar bidang akademik, seperti olahraga, seni, musik, dan lainnya karena setiap anak memiliki bakat (kecerdasan) dan minatnya masing-masing.
Terkait keunikan minat dan bakat masing-masing anak, ada teori kecerdasan yang disebut kecerdasan majemuk atau Multiple Intelligence (MI) oleh Ahli Psikologi Pendidikan Howard Gardner. Apa maksud dari pandangan tersebut dan hal-hal apa saja yang melatarbelakanginya?
Gardner percaya bahwa setiap individu unik. Mereka belajar, memahami, mengingat, dan melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Inilah yang mendasari teori MI.
Pada awalnya, Gardner mengungkapkan ada tujuh jenis kecerdasan. Seiring berjalannya waktu, Gardner mengembangkan teorinya lagi menjadi sembilan jenis kecerdasan pada saat ini dan masih terus mempertimbangkan kemungkinan adanya jenis-jenis kecerdasan lain.
Teori kecerdasan majemuk pun makin populer. Pasalnya, masyarakat dewasa ini kian terbuka serta melek pengetahuan bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda dan unik. Arus globalisasi yang besar dan perkembangan teknologi juga semakin membuka pandangan serta kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja dengan beragam profesi, tidak melulu sebagai dokter, guru, atau polisi seperti zaman dahulu kala.
Bisa dibilang, teori kecerdasan majemuk relevan dengan situasi sekarang ini, ya. Penasaran kan, dengan sembilan jenis kecerdasan yang dikemukakan Howard Gardner? Yuk, simak juga artikenya di sini.
(Febi/ Dok. Pixabay)