Sebagian dari kita mungkin masih sering menerapkan pengasuhan gaya lama saat menghadapi buah hati. Gaya pengasuhan tersebut bagaikan tertanam dalam alam bawah sadar kita dan menjadi refleks saat menghadapi polah si kecil. Namun, ternyata tak semua kebiasaan itu baik untuk perkembangan anak, lho. Justru, ada yang dapat memicu kebiasaan tak sehat dalam dirinya dan rentan terbawa hingga dewasa. Praktisi Pendidikan Anak Edy Wiyono alias Ayah Edy pun meminta orang tua untuk hindari kebiasaan ini dalam mendidik anak.
Menyalahkan benda mati saat anak terjatuh atau terluka
Sering kali orang tua memukul benda mati ketika mendapati anak tersandung atau terjatuh dari kursi. Usai memukul, mereka berkata, “Kursinya nakal, ya. Ini sudah dipukul. Cup…cup… sudah, jangan nangis lagi.”
Menurut Edy, proses pemukulan terhadap benda-benda mati yang ‘dikambinghitamkan’ mengajarkan kepada anak bahwa ia tidak pernah salah. Hal ini pun rentan terbawa hingga dewasa.
“Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi kekeliruan, maka orang lain yang disalahkan,” jelas Edy dalam bukunya yang berjudul Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur: 37 kebiasaan Orang Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada Anak. Sikap ini akan tampak saat anak mulai melawan kepada orang tua setelah dinasihati.
Jadi, jika si kecil sedang memantapkan kemampuannya berjalan kemudian menabrak sesuatu hingga menangis, ajarilah untuk bertanggung jawab. Sambil mengusap bagian yang sakit, berkatalah, “Kamu terbentur dan sakit, ya? Lain kali jalannya hati-hati, ya.”
Berbohong hal kecil dan sering
Menurut Edy, awalnya anak-anak selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya karena mereka percaya. Namun banyak orang tua yang secara tidak sadar membohongi anak demi menghindari keinginan mereka. Misal, ketika kamu hendak berangkat ke kantor di pagi hari dan si kecil menangis karena ingin ikut. Karena diburu waktu, Kamu pun secara refleks berkata, “Ayah pergi sebentar saja kok, hanya ke depan.” Ternyata, Kamu bekerja dan pulang malam.
Kasus lainnya, kamu sedang berusaha menyuapi anak yang sedang mogok makan. Rasa frustrasi pun membuat anak berujar, “Kalau makannya susah, nanti Ibu enggak ajak adik jalan-jalan, lho,” Padahal, menurut Edy, antara jalan-jalan dan pola makan anak tidak berkaitan sama sekali. Itu pun belum tentu kamu menyanggupi ucapan untuk tidak mengajaknya jalan-jalan nanti.
Jadi, berkatalah jujur pada anak. Ungkapkan kenyataan dengan penuh kasih sayang dan pengertian.
“Sayang, Ayah berangkat kerja dulu, ya. Kalau Ayah ke kantor kamu tidak bisa ikut.”
Sampaikan pula waktunya kamu akan kembali ke rumah dan dorong ia melakukan aktivitas yang menyenangkan ketika hendak berangkat.
Menakuti anak
Cara ini biasanya diterapkan untuk menenangkan anak yang menangis atau tidak bisa diam. Orang tua akan memanfaatkan citra profesi tertentu untuk menakut-nakuti anak.
“Yuk, kita ke dokter aja biar kamu disuntik. Kamu nangis terus, sih.”
“Kalau enggak bisa diam, Papa panggil Pak Satpam (atau Pak Polisi).”
Saya ingat waktu kecil pernah ditakuti seperti ini. Ayah saya bahkan sampai niat memanggil si Pak Satpam. Reaksinya? Pak Satpamnya nyengir-nyengir saja, sih.
Menurut Ayah Edy, lewat pernyataan bernuansa ancaman atau menakuti-nakuti seperti contoh tadi, orang tua telah menanamkan rasa benci pada institusi atau pihak yang disebutkan.
“Juga, kita sebenarnya telah merendahkan diri bahwa kita tidak punya kuasa apa-apa untuk melarangnya,” tambah Edy.
Hadiah untuk perilaku buruk anak
Si kecil merengek minta dibelikan sesuatu saat bersama kamu di tempat umum. Kamu berkata tidak boleh, lalu si kecil pun makin merengek diiringi tangisan dan perlawanan. Kamu pun merasa malu dengan perilaku tersebut di depan publik. Belum lagi tatapan orang-orang yang menoleh ke arah kamu. Akhirnya Kamu menyerah dan memenuhi rengekan si kecil.
“Ya sudah, kamu ambil satu…”
Menurut Edy, dengan bersikap begitu, orang tua telah memberikan hadiah atas perilaku buruk anaknya.
“Sejak saat itu juga, anak mempelajari bahwa permintaannya dapat dikabulkan dengan perlawanan yang gigih. Kejadian ini pun akan terus diulangi dan diujicobakan pada permintaan yang lain,” jelas Edy dalam bukunya.
Ayah Edy menyarankan orang tua untuk tidak menghiraukan anggapan orang lain dan bersikap konsisten menggagalkan upaya anak untuk mencobanya lagi. Anak adalah pembelajar yang baik berdasarkan pengalaman-pengalaman mereka,
Untuk menerapkan berbagai saran Ayah Edy tadi, mungkin ada perasaan tidak tega pada diri orang tua. Namun, orang tua perlu mengajarkan anak tentang konsekuensi sejak dini. Dengan begitu, mereka belajar menjadi disiplin dan lebih ‘tahan banting’ guna menghadapi kerasnya kehidupan di masa mendatang.
(Febi/ Dok. Pixabay)