Ada kalanya busui atau bayi sakit. Perihal keamanan untuk tetap menyusui si kecil pun sering kali menjadi pertanyaan. Bahkan, masih ada pihak-pihak yang menyarankan busui untuk berhenti menyusui walau penyakitnya ringan. Padahal, pilihan untuk terus menyusui saat ibu atau anak sakit menuai manfaat khusus, lho.
Meski begitu, pelajari juga kondisi-kondisi tertentu yang mengharuskan Ibu untuk menghentikan rutinitas menyusui. Salah satunya lewat mitos VS fakta busui atau bayi sakit berikut ini. Parentalk merangkumnya dari diskusi bersama dokter sekaligus konselor laktasi, Sarah Audia, plus Buku Pintar ASI dan Menyusui yang ditulis oleh F. B. Monika.
Busui terkena penyakit infeksi
Mitos: Ibu yang terkena penyakit infeksi harus berhenti menyusui sementara untuk mencegah penularan dan efek samping obat pada bayi.
Fakta: menurut Konselor Laktasi F. B. Monika, penyakit atau kondisi yang mengharuskan Busui berhenti menyusui sangatlah jarang. Misalnya:
- infeksi HIV dan/atau sedang menjalani pengobatan antiretroviral (ARV),
- infeksi HTLV (T-cell lymphotrophic virus) tipe 1 atau 2,
- sepsis dan septicemia (penyakit infeksi berat dalam darah yang bereaksi sangat cepat dan mengancam jiwa),
- menderita Tuberkulosis aktif,
- mengonsumsi obat-obatan terlarang (narkoba dan sejenisnya) atau obat psikoterapi, antiepilepsi, dan golongan opioid,
- menjalani pengobatan kemoterapi untuk penyakit kanker, dan
- menjalani terapi radiasi.
Jika Ibu menderita cacar air dan Herpes Simplex Virus tipe 1 (HSV-1) pada payudara, sebaiknya bayi mengonsumsi ASI perah saja (dengan catatan, tangan atau alat pompa tidak menyentuh lesi/lepuh di payudara saat Ibu memerah).
Menurut dr. Sarah, payudara yang tidak terdapat lesi boleh disusui langsung ke bayi. Namun, pastikan bayi tidak bersinggungan dengan lesi di bagian tubuh lainnya saat menyusui.
Busui yang menderita Hepatitis B pun masih bisa menyusui asalkan puting tidak lecet atau bayi tidak terpapar darah Ibu.
Sementara menurut F. B. Monika, bila menderita penyakit umum seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, dan radang tenggorokan, atau tipes, Ibu dapat tetap menyusui. Bahkan, ASI mengandung antibodi spesifik terhadap penyakit Ibu saat itu sehingga melindungi bayi dari menderita penyakit yang sama. Kalaupun bayi tertular, penyakitnya tidak akan seberat yang Ibu derita.
Catatan untuk Ibu yang sakit, bila tak perlu obat, cukup perbanyak asupan cairan saja. Jika membutuhkan terapi, pastikan obat-obatan yang diresepkan sesuai panduan tata laksana penyakitnya dan aman bagi busui. Rajinlah mencuci tangan dengan sabun, mengenakan masker, membatasi kontak dekat dengan wajah bayi, memperbanyak asupan cairan, dan cukup istirahat.
Hindari konsumsi jamu karena berisiko menurunkan produksi ASI.
Asupan cairan bayi saat cuaca panas
Mitos: bayi 0-6 bulan butuh minum air mineral saat cuaca panas.
Fakta: berdasarkan penelitian dr. Ruth Lawrence, sekitar 88,1% komposisi ASI adalah air. Sisanya adalah karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan lain-lain. Jadi, bayi yang menerima ASI tidak perlu menerima tambahan air mineral atau sejenisnya. Bahkan, kolostrum yang jumlahnya beberapa tetes cukup menjaga bayi tetap terhidrasi dengan baik.
Bayi diare
Mitos: bayi yang diare membutuhkan air atau susu formula khusus. Pemberian ASI sebaiknya dihentikan dulu.
Fakta: ASI justru menurunkan risiko diare juga mencegah dehidrasi karena kandungan 88,1% air dan kolostrumnya. Menurut penelitian, bayi yang diberikan ASI eksklusif, 25 kali lebih jarang menderita diare fatal/menyebabkan kematian (Huffman, 1990). Persentasi bayi dirawat di rumah sakit karena diare dapat dicegah sebesar 53% setiap bulannya dengan memberikan ASI eksklusif (Quigley, 2007).
Jadi, sudah enggak galau lagi untuk lanjut menyusui saat busui atau si kecil sakit, kan?
(Febi/ Dok. Pixabay)